Desa sekitar Candi Borobudur memiliki banyak potensi kepariwisataan yang dirasa tenggelam akibat semua perhatian ditujukan ke Candi Borobudur. Pengelolaan Candi Borobudur dengan sistem bisnis yang mengekploitasi potensi mengakibatkan persoalan kesenjangan kesejahteraan, peningkatan angka kemiskinan dan menurunnya kualitas lingkungan dialami oleh masyarakat di desa sekitar Candi Borobudur. Potensi Borobudur yang sangat besar menjadi persoalan kesejahteraan atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat sekitar obyek memiliki kesenjangan semakin besar. Dengan kunjungan rata-rata 5 juta wisatawan per tahun, wisata Candi Borobudur menjadi penopang pendapatan pariwisata di Kabupaten Magelang. Namun, besarnya pendapatan itu tak serta-merta berdampak pada perekonomian masyarakat desa di sekitarnya. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) Jawa Tengah mencatat, tahun 2019 ada tiga desa di Kecamatan Borobudur masih masuk dalam zona merah kemiskinan, yakni desa Giri Tengah, desa Ngadiharjo dan desa Wringinputih. Desa Wringinputih berjarak sekitar 2,3 km dari Candi Borobudur berlatar belakang Perbukitan Menoreh dan didukung oleh kondisi alamnya yang masih alami dan memiliki pemandangan alam yang indah. Desa Wringinputih menjadi salah satu model pengembangan desa wisata dengan didirikannya Balai Ekonomi Desa (Balkondes) yang didukung oleh CSR Pertamina. Berdasarkan data dari Disporapar Magelang 2019, angka kunjungan wisatawan mancanegara ke Magelang naik 6,23 persen menjadi 358.673 orang di tahun 2018. Adapun kunjungan wisatawan nusantara yang beredar di Magelang, naik 18 persen menjadi 5.977.422 orang di tahun 2018. Pergerakan kunjungan wisatawan masih terpusat ke candi Borobudur, dan belum merata ke sejumlah potensi dan atraksi di desa wisata sekitar candi Borobudur. Diperkirakan oleh Bank Dunia, pada tahun 2025, jumlah sampah destinasi wisata bertambah hingga 2,2 miliar ton. Menurut riset Colliers International Indonesia, perlambatan pariwisata di Bali terjadi yang disebabkan masalah sampah plastik, dan masalah lingkungan seperti macet, abrasi pantai, dan kriminalitas. Sebagai destinasi wisata internasional, kawasan Borobudur memiliki catatan buruk melalui ancaman pencabutan status sebagai situs warisan budaya dunia (world heritage site) oleh UNESCO pada 2011. Secara khusus, permasalahan sampah berada di kawasan wisata sekitar candi Borobudur dan di wilayah Kabupaten Magelang dinilai UNESCO masih memprihatinkan. Komposisi sampah rata-rata di Kabupaten Magelang berdasarkan data persampahan Kabupaten Magelang terdiri dari 53,6% sampah organik dan 46,4% sampah anorganik. Saat ini telah dibangun 40 Bank Sampah Unit di Borobudur dengan target mencapai 150 unit pada 2021. Saat ini terdapat bantuan dari KemenPUPR untuk pembangunan TPS3R di 20 desa di kecamatan Borobudur. Pada 2019 jumlah bank sampah di Kabupaten Magelang mencapai 667 unit dengan target 1.000 unit pada tahun ini. Permasalahan pengelolaan sampah di banyak daerah salah satunya disebabkan ketimpangan antara biaya investasi untuk pembangunan, penyediaan sarana prasarana persampahan, dan biaya operasional pemeliharaan dengan pendapatan dari retribusi sampah. Menurut data Walhi tahun 2017, TPS3R yang didirikan pemerintah, hanya 35 persen yang masih beroperasi, hal ini disebabkan karena tingginya biaya operasional TPS3R yang tidak terpenuhi dengan pendapatan yang dihasilkannya. Sedangkan Anggaran pengelolaan sampah di Kabupaten Magelang sampai saat ini masih di bawah 5% per tahun dari total APBD. Perlunya solusi alternatif pendapatan baru dari TPS3R selain dari iuran dan pengelolaan sampah. Masyarakat belum melakukan pemilahan sedari sumbernnya, rendahnya kesadaran masyarakat membayar tarif retribusi pelayanan sampah serta minimnya nilai tambah yang dihasilkan dari sampah untuk masyarakat. Mengingat kecamatan Borobudur adalah Kawasan Strategis Pariwisata (KSP), maka pengelolaan dan pengembangan potensi desa wisata harus selaras dengan pengelolaan lingkungan pariwisata yang berkelanjutan. PT Fathul prima Sejahtera melalui Satubumi telah melakukan pendampingan desa wisata di wilayah kabupaten Magelang dalam peningkatan daya tarik dan daya dukung lingkungan pariwisata yang berkelanjutan. Melalui Penerapan Rumah Pintar Belajar Sampah (TRASH PLAY HOUSE) diharapkan menjadi solusi bernilai tambah bagi TPS3R Wringinputih agar operasional berjalan berkesinambungan selaras dengan meningkatkan daya tarik desa wisata dan mendorong terwujudkan lingkungan kawasan pariwisata destinasi KSPN Candi Borobudur yang berkelanjutan.
Sebagai destinasi wisata internasional, kawasan Borobudur memiliki catatan buruk melalui ancaman pencabutan status sebagai situs warisan budaya dunia (world heritage site) oleh UNESCO pada 2011. Secara khusus, permasalahan sampah berada di kawasan wisata sekitar candi dan di wilayah Kabupaten Magelang secara umum, dinilai masih memprihatinkan. Sampah di lingkungan destinasi wisata Borobudur akan berdampak membuat wisatawan tidak nyaman. Masyarakat di desa-desa penyangga harus pro aktif dalam menjaga kebersihan dan keamanan lokasi wisata melalui sistem pengelolaan sampah kawasan secara mandiri seperti sistem pengumpulan dan daur ulang sampah.
Bank sampah di kawasan Borobudur, sejauh ini memiliki problem hanya sebatas sebagai picky eater atau mengambil sampah yang bernilai. Sedangkan yang tidak bernilai belum bisa dioptimalkan pemanfaatannya. Belum lagi, bank sampah memiliki rantai cukup panjang dengan kapasitas tampung yang kecil. Untuk itu pengelolaam sampah di lingkungan Desa di kawasan Borobudur saat ini naik ke level menuju TPS-3R (Reuse-Reduce-Recycle). Setiap harinya, sampah di Kabupaten Magelang mencapai 607 ton dan dapat menimbun Candi Mendut setinggi 13,3m. Menurut data DLH Kabupaten Magelang Dengan jumlah penduduk 1,2 jiwa, artinya per orang menghasilkan 0,5 kilogram sampah. Belum lagi sampah yang dihasilkan wisatawan Borobudur yang mencapai 5 juta pengunjung setiap tahunnya.
Setiap tahunnya, sampah di Kabupaten Magelang mencapai 222 ribu ton sampah sehingga dapat menimbun Candi Borobudur setinggi 35 m. Dengan asumsi yang sama untuk sampah Kabupaten Magelang, ditambah pengunjung wisata yang melonjak 5 kali lipat, maka total sampah yang dihasilkan di seluruh Kabupaten Magelang dapat menimbun sebagian wilayah Kabupaten Magelang, dengan ketinggian 384 m atau 10 kali lebih tinggi dari candi Borobudur, seluas ± kecamatan Borobudur 54,55 km².
Pada 2019 jumlah bank sampah di Kabupaten Magelang mencapai 667 unit dengan target 1.000 unit pada tahun ini. Tahun 2020 dibangun 12 Tempat Pengelolaan Sampah Reuse Reduce Recycle (TPS-3R), dan tahun 2021 akan ditambah 8 unit TPS-3R sehingga menjadi 20 unit di kecamatan Borobudur.
Beroperasinya Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA), yang didukung dengan dibukanya akses angkutan Kereta Api Bandara dan jalan ke utara melalui Sentolo sepanjang 20-30 km di tahun 2020, maka dalam lima tahun kedepan, akan terjadi peningkatan jumlah Wisatawan Mancanegara yang berkunjung ke candi Borobudur Magelang dengan potensi mencapai 4 kali lipat di tahun 2024.
Isu mengenai sampah di destinasi wisata tersebut mendapatkan sorotan. Pasalnya, Borobudur mendapatkan penunjukan destinasi wisata unggulan yang tertuang dalam Surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Nomor S.51/PSLBB/PS/PLB 0/2/2020
Hal ini menjadi tantangan besar dalam pengelolaan sampah di lingkungan Borobudur, yang harus dipersiapkan sedari dini. Kawasan Borobudur menjadi salah satu lokasi penyumbang sampah yang cukup besar. Masyarakat di sekitar kawasan KPSN dan Wisatawan perlu memperoleh edukasi sampah secara massif dan produktif, salah-satunya melalui Solusi media Rumah Pintar Belajar Sampah (Trash Play House/TPH). Kegiatan ini juga diharapkan menjadi momentum untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah, penanganan sampah di laut, dan pengelolaan sampah plastik di lima destinasi wisata prioritas.
Agar efektivitas TPH lebih powerful, maka pengelolaan dan pengembangan TPH harus juga berfungsi optimal untuk mendukung amenitas di kawasan destinasi wisata Borobudur. Maka untuk itu TPH Wringinputih dikembangkan selain mendorong daya tarik wisata, sebagai alternatif wisata edukasi sampah, serta mencari terobosan untuk penambahan dan peningkatan pendapatan TPH sehingga dapat lebih berkelanjutan operasional dan usahanya.